Pertama kali yang terpenting, IPNU-IPPNU harus kembali pada
habitat, fitrah dan identitasnya sebagai organisasi yang bergerak di bidang
keilmuan, pengabdian dan latihan kepemimpinan untuk masa depan. Inilah habitat
IPNU-IPPNU yang sesungguhnya. Mengingat kembali pada Keputusan Kongres XIV
IPNU-IPPNU di Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada 18-24 Juni 2003 untuk
mengembalikan IPNU-IPPNU sebagai organisasi pelajar adalah keputusan yang
tepat. Oleh karenanya harus dibangun komitmen untuk menjadikan IPNU-IPPNU sebagai
penunjang prestasi ilmiah.
Sebaliknya, jangan beralasan
karena aktivitis IPNU-IPPNU, belajar sebagai tugas anak muda justru
terkesampingkan. IPNU-IPPNU semestinya menjadi lambang prestasi keilmuan. Untuk
itu tugas kita saat ini adalah bagaimana membuat IPNU-IPPNU untuk menjadi komunitas
belajar (learning community) yang menunjang bagi proses pengembangan keilmuan.
Karena itulah IPNU-IPPNU harus menyediakan perangkat dan sektor keilmuan.
Pengembangan-pengembangan
IPNU-IPPNU tidak cukup hanya dengan menggunakan isu-isu ideologis. Jika tema-tema
ideologis yang dikedepankan, maka IPNU-IPPNU hanya akan terbatas pada anak-anak
NU dan semakin hari semakin menyempit. Hal ini karena tidak semua anak-anak NU
masuk IPNU-IPPNU, mungkin tidak minat karena IPNU-IPPNU tidak menjanjikan
apa-apa. Keilmuan dapat diklasifikasikan pada dua ranah : yaitu keilmuan
disipliner dimana kader IPNU-IPPNU belajar dan sekolah; dan keilmuan keagamaan
visioner. Yang disebut terakhir berarti bagaimana agar kader-kader IPNU-IPPNU
juga mewarisi cara berfikir keagamaan dan etika Nahdlatul Ulama. Tidak hanya
mewarisi format organisasinya. Hal ini menjadi penting agar tidak terjadi
kegagalan-kegagalan sebagaimana organisasi Islam yang hanya berbentuk format
kepemimpinan, tetapi ideologinya hilang. Organisasi-organisasi model seperti
inilah yang sering melahirkan koruptor. Dengan begitu, maka Islam tidak lagi
bisa menjadi filter dari tindakan-tindakan a-moral. Oleh karena itu harus
diupayakan bagaimana khasanah pemikiran, pengamalan agama serta tata hubungan
agama dengan masyarakat dan negara yang sudah menjadi budaya keagamaan kita,
terwariskan secara baik. Kita sadar hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Bahkan
NU sendiri belum tentu mampu mewariskan secara baik, karena beberapa faktor.
Pertama, pesantren-pesantren yang dijamin berfikir Sunni belum tentu berwawasan
luas, sehingga ilmunya menggenang untuk diri sendiri. Oleh karena itu
diperlukan ilmu-ilmu suplemen atau ilmu-ilmu bantu untuk mengalirkan ilmu
pesantren salafiyah itu. Sekarang anak-anak muda sudah bisa membaca kitab-kitab
kuning besar seperti Ihya’ Ulumuddin. Namun mereka tidak bisa bercerita apa-apa
tentang kitab itu kepada komunitas lain. Akhirnya hak miliknya menggenang.
Kedua, para komentator agama lebih menguasai bibliotik agama dari pada materi
agama.
Tulisan-tulisan tentang
Al-Ghozali misalnya, sebenarnya adalah komentar, bukan materi agamanya. Jadi,
yang punya ilmu tidak bisa memasarkan, dan yang menguasai pasaran tidak punya
barang. Kalau kondisi ini berjalan dalam tempo berdekade-dekade, maka imamatul
ulama dalam arti ilmiah akan selesai. Bahkan tidak mungkin lagi dari Indonesia
tumbuh ulama yang berkaliber internasional, karena alat processing-nya tidak
ada. Fenomena ini tidak hanya melanda IPNU-IPPNU, melainkan juga generasi Islam
pada ormas yang lain. Keadaan Muhammadiyah lebih berat dari kita dalam hal ini.
Hal ini karena Muhamadiyah tidak memiliki alat processing untuk menjamin
kemuhammadiyahan generasi selanjutnya. SMP, SMA, Universitas adalah public
service dan public utility, bukan rule of ideology. Akhirnya generasi NU dan
Muhammadiyah adalah generasi yang sama-sama tidak paham tentang masalah
keilmuan agamanya. Dulu, kalau ulama NU dan Muhammadiyah sekalipun berbeda
tetapi rukun, seperti Kyai Idham Kholid dengan Bapak Hamka, karena mereka
sama-sama mengerti. Tetapi celakanya, sekarang antara NU dan Muhammadiyah juga
rukun karena sama-sama tidak mengertinya. Perlu diperhatikan oleh IPNU-IPPNU
yang sejak semula dilahirkan untuk cita-cita ini, yaitu bagaimana mewawasankan
ilmu salaf yang menggenang dan mengisi intelektual dengan materi agama.
Bukan hanya informasi agama,
melainkan juga amaliyyah (pekerjaan) dan karakter (sifat) agama. Selain itu
kader IPNU-IPPNU hendaknya sadar bahwa pada era sekarang orang tidak bisa
ditarik melalui dogma atau paradigma. Hal ini karena kuatnya sekularisasi
keadaan dan pragmatisasi masyarakat – manusia sosial serta membutuhkan ekonomi.
Kalau IPNU-IPPNU merekrut anggota dengan sekedar menyodorkan nama, maka hanya
anak orang NU yang terjaring. Namun kalau IPNU-IPPNU menyediakan bimbingan
belajar yang berkualitas serta berprilaku moral agama yang tekun misalnya, maka
akan menarik banyak kalangan pelajar dan orang tua, bahkan bukan hanya pelajar
keturunan NU. Melalui pengabdian IPNU-IPPNU akan besar dan sebaliknya dengan
kristalisasi dan kontradiksi sosial, IPNU-IPPNU akan semakin kecil. Ini adalah
hukum sosiometri (gejala sosiologi yang hampir bisa dipastikan). Semua gerakan
radikal tidak pernah bisa besar, karena mainstream mayoritas tidak mungkin
diajak radikal. Yang mungkin adalah diperhatikan kepentingan. Karena itulah
gerakan radikal akan selalu berubah menjadi gerakan militan. Dan militan pasti
minoritas aktif (active minority) bukan silent majority. Kongretnya, IPNU-IPPNU
sudah semestinya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengabdian yang rohmatan
lil alamin.
Itulah jaring untuk merekrut
kader muda terpelajar. Banyaknya anak-anak muda NU yang masuk organisasi lain,
karena organisasi kepemudaan NU tidak bisa menyajikan pengabdian yang mewadahi.
Pengabdian itu bisa berupa pelatihan, orientasi dan lain sebagainya. Melihat
kecenderungan seperti ini kita tidak perlu marah, justru harus intropeksi untuk
selanjutnya menandinginya dengan tindakan yang lebih baik. Nahdlatul Ulama
selalu kalah karena gerakannya by accident, tidak ada yang diselenggarakan by
design. Setiap kegiatan dilakukan hanya karena ketepatan-ketepatan. Karena
itulah kegiatannya tidak memiliki frame yang jelas. Nah, kalau pengabdian sudah
ada, kita mulai meningkat pada latihan kepemimpinan, akan tetapi kita tidak
boleh terjebak pada salah satu alur pelatihan tapi juga diperhatihan pelatihan
yang mendukung pada pengembangan skil (profesi).
Latihan kepemimpinan ini tidak
cukup dengan orientasi kepemimpinan. MAKESTA, LAKMUD, LAKUT dan lain-lain
adalah orientasi kepemimpinan, belum menjadi pelatihan kepemimpinan. Setiap
pemimpin dicetak melalui latihan. Pelatihan yang dimaksud bisa berarti
pelatihan formal yang difasilitasi oleh fasilitator, namun yang jauh lebih
penting adalah latihan langsung dengan peran-peran alamiah. Orientasi
kepemimpinan tetap diperlukan, tetapi peluang untuk beraksi dengan belajar di
lapangan sebagai pemimpin juga harus disediakan. Namun kepemimpinan ini jangan
dibatasi pada kepemimpinan NU dan kepemimpinan politik, tapi juga kepemimpinan
sosial pada gerakan disipliner atau interdisipliner sesuai dengan habitat
keilmuannya masing-masing. Tidak mungkin kader IPNU-IPPNU yang sedemikian
banyak akan menjadi pemimpin NU semua. Hal ini bisa dijembatani dengan memberi
peluang pada kader IPNU-IPPNU untuk ditempatkan pada kepengurusan NU maupun
lembaga-lembaganya di setiap tingkatan, baik cabang, MWC dan ranting. Peluang
ini sudah semestinya diberikan sebagai wahana belajar kepemimpinan yang tidak
lagi orientatif, melainkan sudah bersifat aksi. Tidak hanya itu, latihan aksi
kepemimpinan ini juga bisa dilakukan dalam kepengurusan partai politik. Hal ini
menjadi agenda penting karena IPNU-IPPNU adalah “anak” NU yang paling
memungkinkan untuk ditata. Berbeda dengan G.P Ansor yang berangggotakan massa
yang sudah tidak lagi berada pada satu level kepemimpinan yang seragam dan
level pengetahuan dan pemikiran yang setingkat. Sebagaimana NU, GP Ansor sudah
berhadapan dengan real community (Masyarakat riil) yang hitrogen. Sedangkan
IPNU-IPPNU terdiri dari kader yang relatif homogen dalam level pemikiran.
Dengan level tertentu ini maka IPNU-IPPNU dapat dibentuk untuk melakukan sikap
yang sama terhadap sebuah fenomena. Kepemimpinan IPNU-IPPNU yang dimaksud
diatas mungkin bisa dalam ranah politik atau dalam ranah disipliner. Jika kita
memiliki ketrampilan tertentu dan berada di tempat tertentu, dengan didukung
oleh jiwa kepemimpinan, maka kita dapat memimpin di tempat kita masing-masing.
Kita tidak saatnya memaksakan diri untuk ngumpul semua di NU atau di partai
politik. Karena kekuatan partai adalah kekuatan formalistik, sementara kekuatan
masyarakat adalah kekuatan substansialistik. Dengan demikian IPNU-IPPNU akan
mempunyai prospek masa depan atau tidak tergantung pada orang lain, melainkan
tergantung pada kita. Tugas besar kader IPNU-IPPNU saat ini adalah mencari
kembali formulasi gerakan untuk mengembangkan organisasi setelah menentukan
pilihan untuk “kembali ke pelajar”.
"BELAJAR, BERJUANG, BERTAQWA"
ConversionConversion EmoticonEmoticon